Sebenarnya, ada beberapa alasan mengapa banyak masih banyak kampus yang menggunakan DEV-C++. Meskipun kelihatanya sudah jadul.
IDE adalah singkatan dari “Integrated Developer Environment“, alias aplikasi khusus untuk membantu kamu membangun program dengan mudah dan cepat.
1. DEV-C++ masih bagus untuk dasar-dasar pemrograman dan competitive programming.
Pertama-tama, beberapa universitas mengajarkan bahasa C hanya untuk mengenal dasar-dasar pemrograman dan untuk mengajar competitive programming.
Di Universitas Bina Nusantara, misalnya, soal-soal ujian untuk mata kuliah COMP6047 – Algorithm and Programming dan COMP6048 – Data Structures sendiri adalah murni soal competitive programming. Apalagi untuk mata kuliah berikutnya, COMP6049 – Algorithm Design and Analysis, setiap mahasiswa diwajibkan untuk mengikuti kontes pemrograman tahunan ICPC Indonesia National Competition (INC) sebagai salah satu syarat kelulusan dari mata kuliah tersebut.
Berbicara soal competitive programming…
Beberapa kontes pemrograman termasuk ICPC melarang setiap peserta untuk menggunakan fitur code suggestion dan code completion seperti IntelliSense di Visual Studio dan Visual Studio Code.
Ada juga yang mengatakan bahwa salah satu tujuan mahasiswa diajarkan untuk memakai DEV-C++ adalah agar mereka terbiasa untuk tidak menggunakan fitur tersebut, apalagi dalam kontes-kontes pemrograman.
2. DEV-C++ masih mudah dipasang.
Kedua, memang DEV-C++ adalah salah satu IDE yang sangat mudah untuk dipasang. Hanya unduh dan klik instal. Berbeda dengan Microsoft Visual Studio (bukan Visual Studio Code) yang membutuhkan puluhan GB untuk dapat dipasang dengan benar, karena Visual Studio juga memasukkan berbai SDK yng diperlukan untuk membangun aplikasi yang berjalan di perangkat Windows.
Dengan DEV-C++, Anda juga tidak perlu untuk memasang compiler secara manual, seperti Clang dan GCC serta menggunakan environment tertentu seperti MinGW, Cygwin, ataupun WSL.
🍎🐧 Bagaimana dengan pengguna macOS dan Linux?
Pada waktu itu, saat saya masih cinta-cintanya dengan Linux, saya akhirnya memakai IDE yang mirip dengan DEV-C++. Yaitu Geany. Tampilannya juga sesederhana DEV-C++, dan saya seringkali berpindah IDE antara DEV-C++ di kampus dan Geany di rumah.
Geany sendiri sebenarnya juga sudah tersedia di Windows dan macOS, dan bagusnya Geany juga bisa mendukung bahasa pemrograman lainnya seperti Python.
3. DEV-C++ juga mengingatkan bahwa tidak semua IDE itu seindah Visual Studio Code, produk JetBrains, dan Xcode.
(Pengguna Vim dan Neovim minggir dulu…)
Tidak semua IDE punya tampilan yang bagus. Beberapa codefluencer (atau yang saya sebut sebagai “Recycled Developers”) di Twitter pasti merekomendasikan entah VS Code ataupun produk JetBrains (IntellIJ, PHPStorm, PyCharm, WebStorm, dsb.) dengan tampilan yang modern dan lebih familiar kepada kebanyakan pengguna.
Tapi, jangan salah. Jika kamu sedang menimba ilmu menjadi enterprise software engineer untuk aplikasi desktop/PC, ada kalanya di mana kamu harus berhadapan dengan IDE-IDE jadul ini karena perusahaanmu telah bertahan menggunakan SDK dan framework jadul yang sudah tidak di-update bertahun-tahun. Saya tahu, membangun enterprise software ini tidak semudah membangun startup aplikasi mobile yang bisa mengadopsi teknologi-teknologi terkini.
Tidak semua IDE seindah itu. Dan DEV-C++ adalah salah satunya, seperti tidak bisa move on dari tampilan era Windows 95.
Leave a Reply