Hari-hari ini, suatu sistem dan software tak akan tercipta tanpa suatu ideologi.

Save or share to

Saat saya mencoba menulis sebuah personal statement untuk mendaftarkan diri kepada salah satu program beasiswa, saya menulis sesuatu karena saya sadar bahwa, aplikasi chatting yang sering kita pakai, situs streaming film yang sering kita pakai, jenis peramban web (web browser) yang sering kita pakai, semuanya terbentuk atas niatan pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan kita. Ya, ada pihak-pihak yang sedang memanfaatkan kita semua dengan berbagai cara, di antaranya program kreator/influencer dan promosi kuota bonus untuk aplikasi tertentu.

Tak sedikit pengembang aplikasi ingin aplikasinya semakin tenar agar mereka dapat berjualan iklan sebanyak-banyaknya. Bahkan, bisa dikatakan hampir semua melakukannya, baik pemain-pemain kecil yang membangun aplikasi filter foto dan video serta QR Code Scanner, maupun pemain-pemain besar yang membangun video game yang menarik kalangan pemain e-sports profesional hingga para bocil, dan juga sistem operasi (OS) termasuk Android dan Windows yang semakin hari, semakin dekat dengan Anda.

Salah satu mobile game yang sengaja memblokir pengguna saat mengalami kendala jaringan internet, namun game tersebut terlihat tidak sepenuhnya membutuhkannya. Semua ini dilakukan agar sang pengembang game dapat selalu menampilkan iklan kepada para pengguna.

Saya menuliskan, pada waktu itu, bahwa ada konflik ideologis di balik penciptaan teknologi Digital Rights Management (DRM) yang saya sandingkan dengan BitTorrent, atau lebih tepatnya, sekelompok komunitas yang memanfaatkan BitTorrent. Pihak-pihak yang mendukung kebijakan DRM sama-sama berpendapat bahwa prinsip kepemilikan (dan maka itu, hak cipta) wajib berlaku dalam dunia maya seperti layaknya dalam dunia nyata.

Namun, ada pula yang mengakui bahwa ruang siber sebagai ruang yang merdeka dari segala intensi bisnis dan politik yang sangat menguasai dunia nyata. Meskipun relatif sedikit, beberapa tokoh yang sepaham dengan ini justru merupakan para pendiri di balik teknologi internet itu sendiri. Internet tidak pernah diciptakan untuk dimonetisasi, dipolitisasi, bahkan “dikontenisasi” seperti hari-hari ini, dan para pendiri Internet tersebut masih memegang teguh ideologi yang sama hingga saat ini.

Demikian pun dengan teknologi blockchain dan segala serba-serbi mata uang kripto. Setidaknya ada salah satu buku yang menuangkan paham bahwa perusahaan sebesar Google harus dibumihanguskan dengan teknologi blockchain (lucunya buku ini juga terdaftar di pustaka Google Books), karena Google dianggap tidak manusiawi dalam berbagai hal filosofis dan teknis, dan ajal Google akan semakin mendekat.

Film 13 Bom di Jakarta yang disponsori Indodax itu jelas-jelas mewujudkan pertentangan ideologis mengenai istilah “kebebasan finansial”, di mana ada pihak tertentu yang menginterpretasikannya menjadi ideologi yang berbeda. Saya sungguh memuji film tersebut karena merepresentasikan salah satu masalah yang nyata, tapi sayangnya, masalah tersebut akan terlihat jelas jika Anda adalah warga negara Uni Eropa atau Amerika Serikat.

Berkaitan dengan salah satu objek vital (Bitcoin) dalam penceritaan film tersebut, sistem penyebaran dan perbendaharaan mata uang ini juga ditumpangi oleh ideologi tertentu. Karena memang, mata uang kripto sendiri merupakan salah satu produk dari internet yang selalu mencoba mempersatukan masyarakat seluruh dunia, dan sebagai konsekuensinya, segala ideologi dunia.

  • Paham nasionalisasi ruang siber (tak terbatas kepada ideologi negara tertentu) menyatakan bahwa teknologi harus dikuasai negara, tepat seperti ayat UUD 1945 tersebut.
  • Paham kapitalisme ruang siber menyatakan bahwa siapapun bebas menciptakan dan memanfaatkan teknologi layaknya ideologi kapitalisme pada umumnya. Adapun istilah surveillance capitalism (kapitalisme pengawasan ruang siber) yang merujuk kepada pihak-pihak tertentu yang mengawasi ruang siber secara bebas dan massal, namun memanfaatkannya demi kepentingan dan keuntungan pribadi, sehingga kerap dianggap tidak etis bagi kaum tertentu.
  • Paham anarki ruang siber (cyberanarchy) menyatakan bahwa tidak ada pihak (manusia) apapun yang dapat dipercaya, sehingga demi keberlangsungan manusia secara seadil-adilnya, kepercayaan itu harus dialihkan/digantikan dengan penerapan algoritma komputer yang dibangun atas dasar ketidakpercayaan kepada manusia.
  • Paham libertarianisme dalam menanggapi perkembangan teknologi mengajarkan bahwa teknologi informasi dan komunikasi (TIK/IT) telah menjadi salah satu faktor kehidupan integral manusia, maka hal tersebut layak dijadikan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), dan maka itu setiap orang harus bebas membangun dan memanfaatkannya tanpa paksaan dan kehendak luar, sebagai bagian dari HAM itu sendiri.
  • Paham cypherpunk dapat dikatakan serupa dengan libertarianisme tersebut, namun pula ditegaskan bahwa setiap manusia, sebagai bagian dari HAM, berhak mendapatkan perlindungan digital secara kuat, transparan, dan cuma-cuma, dan maka itu mereka harus dilindungi dengan teknologi kriptografi yang layak memenuhi kriteria-kriteria tersebut untuk dapat mengadopsi dunia digital sebagai kebutuhan yang vital.
  • Paham yang muncul dalam cerita dunia fiksi cyberpunk memang cukup beragam, namun salah satu pemahaman yang cukup tenar adalah dunia siber memungkinkan manusia untuk mencapai lebih daripada apa yang dapat mereka lakukan dalam dunia nyata. Karena itu, dunia nyata harus bersiap menghadapi merger dengan dunia siber, yang tentunya membutuhkan restrukturisasi pemahaman sosial dan politis secara fundamental (seperti merger antara Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Mesin/Robot).

    Cyberpunk memang kerap memfokuskan diri terhadap politisasi dan monopoli perusahaan IT dalam kehidupan manusia yang sangat massal dan erat, sejalan dengan nasionalisme dan kapitalisme namun bertolak belakang dengan impian yang dilukiskan dalam paham libertarianisme. Namun hal-hal tersebut justru membuka pandangan tentang digital sovereignty, salah satunya terkait pemahaman teknologi sebagai bagian atas Hak Asasi Manusia dan Mesin/Robot beserta etika dan konsekuensinya.

Dalam pelajaran PKN, Anda mungkin pernah mempelajari bagaimana komunisme menyerang kapitalisme dan sebaliknya, dengan negara Jerman, Korea, Tiongkok (konflik pengakuan negara Republik Tiongkok alias Taiwan, dengan ideologi One China Policy oleh Republik Rakyat Tiongkok), dan Vietnam sebagai saksi-saksinya. Untungnya, Indonesia tak sepenuhnya mengadopsi salah satu dari itu, malah mencoba menggabungkan sebagian dari mereka dengan adanya Pancasila.

Karena itu, sama halnya Pancasila dengan kapitalisme dan komunisme, saya masih menaruh kepercayaan saya terhadap Indonesia untuk merumuskan sesuatu yang dapat memperdamaikan polarisasi ruang siber dan produk TIK/IT, dengan membangun sesuatu yang tak sepenuhnya berorientasi kepada paham-paham sentralisme (bahwa teknologi harus dikontrol terpusat kepada suatu atau beberapa pihak tertentu) dan desentralisme (bahwa teknologi harus dapat tersedia bagi siapapun, namun siapapun tak berhak mengontrol teknologi tersebut).


Thanks for reading this article! By the way, we’re also working on finishing these interesting posts. Revisit this site soon or follow us to see them once they’re published!

[display-posts post_status=”future” include_link=”false” wrapper_id=”future-list”]

Save or share to

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *