Tak sedikit warganet yang mengkritik pasal-pasal penghinaan pemerintah pada rancangan KUHP yang baru saja diresmikan. Banyak orang yang akhirnya menyerah, pasrah, dan memprediksikan kebebasan masyarakat Indonesia akan dikekang layaknya Republik Rakyat Cina.
Saya percaya akan ada banyak kekecewaan demi kekecewaan yang akan muncul, dan KUHP tak hanya menjadi satu-satunya alasan. Demikian pula dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang semakin membuat saya frustasi.
Tak usah jauh-jauh ke masalah PSE dan proyek DNS Nasional, saya memutuskan untuk setop melaporkan website-website bermasalah ke dalam kanan Aduan Konten, karena para penyedia jasa web hosting lauh lebih cepat menonaktifkan website daripada tim Aduan Konten merubah status laporan saya dari laporan “baru” menjadi “sedang diproses”.
Di dalam era di mana mengkritik pemerintah sudah masuk ke dalam ranah pidana, saya percaya masyarakat tetap akan berkreasi dalam mengkritik pemerintah. Salah satu contoh yang bisa saya perankan adalah frasa “dengan terpaksa”, misalnya “lagu wali kota ini bagus, karena kalau saya bilang ini jelek saya pasti digugat KUHP.“
Masih tidak ada ayat yang melarang masyarakat untuk mengkritik pemerintah dengan mengatakan hal-hal yang bagus dengan kata “terpaksa”, apalagi kata-kata hujatan yang diekspektasikan pemerintah tidak terdapat dari tutur katanya.
Dan saya, khususnya dalam masalah Kominfo ini, saya akan melawannya dengan membuktikannya.
Sebagai contoh, mari kita mengkritik program Pandu Digital, karena mereka justru membuat masyarakat Indonesia semakin ketergantungan terhadap produk merek-merek dagang tertentu. Mereka akan terlatih untuk menggunakan Microsoft Powerpoint, misalnya, namun tidak terlatih untuk menggunakan piranti lunak apapun yang berhubungan dengan presentasi berbentuk slideshow, baik itu Google Slides, Keynote, Canva, LibreOffice Impress, Figma, dan bahkan software slideshow baru bikinan anak-anak bangsa.
Dalam kasus-kasus ini saya percaya, peribahasa “tong kosong nyaring bunyinya” ini tetap akan berlaku baik di sisi pemerintah maupun pengkritik. Karena yang seharusnya dilakukan oleh pengkritik bukanlah dengan merekrut buzzer bayaran atau melakukan demo dari Senayan hingga Gambir.
Yang seperlunya diperlukan adalah proses dan metode yang membuahkan hasil yang layak disebut sebagai alpha, alias keunggulan kompetitif dari solusi sang pengkritik.
Dalam kasus ini, lebih baik saya membuat program pesaing Pandu Digital milik Kominfo yang diajarkan berdasarkan nilai-nilai yang dibuat secara solutif dari saya. Misalnya ujian-ujian khusus di mana para peserta dihadapkan dengan sistem komputer dengan konfigurasi yang berbeda-beda, seperti perangkat Linux dengan WPS Office dan web browser Falkon.
Apapun konfigurasinya, mereka harus tetap dapat berurusan dan memanfaatkan komputer tersebut untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan untuk lulus ujian Cakap Bermedia Digital ala program saya. Alpha yang diperoleh di sini dapat diuji dengan penelitian akademis terhadap para peserta dari program Pandu Digital yang asli terhadap konfigurasi sistem komputer yang berbeda-beda.
Akhir kata, cara-cara seperti inilah yang akan saya tempuh dalam mengkritik pemerintah dalam era seperti ini. Saya yakin cara-cara seperti ini lebih ampuh untuk memadamkan ego politik yang sering menjadi hambatan utama dalam memperbaiki bangsa. Toh Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi tetap tidak bakal disahkan ketika Bjorka tidak beraksi di Indonesia…
Leave a Reply