Artikel ini merupakan rilis ulang atas salah satu esai yang saya buat sebagai jawaban dari tugas mata kuliah CHAR6013 – Character Building: Pancasila dalam Universitas Bina Nusantara (BINUS). Anda dapat melihat versi asli dari esai tersebut di sini.
Pembukaan
Pada tahun 2015, sebuah lembaga survei internasional menemukan bahwa masyarakat Indonesia dan beberapa negara lainnya merasa lebih banyak menggunakan “Facebook” daripada “Internet”. Bahkan, tak sedikit masyarakat menganggap bahwa “Internet adalah Facebook” dan “Facebook adalah Internet”.
Sedangkan, para pemerintah di berbagai negara seperti India, China, Iran, dan bahkan Amerika Serikat mulai mengatur dan menguasai kebijakan-kebijakan terhadap pemanfaatan internet dan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) secara umum yang terkadang kontroversial. Di Kenya, Uganda, dan Tanzania, misalnya, masyarakat dilarang untuk memiliki situs blog dan/atau menjadi pengurus grup di media sosial tanpa lisensi resmi dari pemerintah setempat.
Bagi segelintir individu dan organisasi yang bergerak dalam penegakan hak-hak digital seperti Mozilla dan Electronic Frontier Foundation (EFF), berita-berita tersebut cukup menjadi perhatian serius bagi mereka. Mereka khawatir bahwa kasus “Facebook adalah internet” lama-kelamaan akan menjadi sebuah kenyataan, bahwa seluruh internet di dunia ujung-ujungnya dikuasai oleh satu atau segelintir perusahaan yang telah sukses memanfaatkan Web 2.0 secara komersil termasuk Facebook dan Google. Dan inilah juga yang menjadi alasan di balik munculnya istilah GAFAM; singkatan dari Google, Apple, Facebook, Amazon, dan Microsoft; lima perusahaan besar yang menguasai mayoritas layanan internet saat ini. Dan ironisnya, lima perusahaan ini sama-sama berasal di satu negara yang sama: Amerika Serikat.
Namun sayangnya, kasus-kasus seperti ini tidak menjadi alarm penting bagi kalangan masyarakat Indonesia yang sudah terlalu nyaman dengan dunia media sosial dan layanan-layanan internet yang ditawarkan oleh kelima perusahaan tersebut. Banyak sekali orang Indonesia yang ingin tenar sebagai influencer di Facebook, Instagram, dan media sosial serupa; memiliki banyak jumlah pengikut dan bahkan sudah memiliki penghasilan sehari-hari. Bahkan, kini tak sedikit perusahaan di Indonesia rela untuk menyisihkan sebagian dananya kepada para influencer untuk mempromosikan produk-produk mereka, baik sebagai sponsor maupun sebagai duta merek alias Brand Ambassador.
Ya, Indonesia sudah terlalu, terlalu nyaman dengan Web 2.0. Dan hal ini juga memengaruhi pemerintah Indonesia untuk berupaya membangun startup dan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan serupa yang bergerak di bidang Web 2.0. Saya masih ingat momen di mana Gerakan 1000 Startup Digital sedang digaung-gaungkan sebelum pandemi. Namun kini, saya terpaksa harus membawakan sebuah kabar buruk bagi “1000 Startup Digital” tersebut: mereka belum tentu dapat beradaptasi, dan bahkan berpotensi dibumihanguskan pada era web3, desentralisasi, dan liberalisasi kekuasaan internet dunia secara besar-besaran.
Apa itu “Web 3.0” dan web3?
Sebelum membahas tentang web3, saya akan membahas tentang “Web 3.0” terlebih dahulu. Jika dilihat dari riwayat perkembangan World Wide Web secara umum, “Web 1.0” (web generasi pertama) merupakan masa di mana akses internet hanya terbatas pada segelintir institusi tertentu (seperti pemerintah, militer, dan universitas), dan waktu itu dunia baru saja mengenal tentang konten HTML yang bersifat statis. Alhasil, situs-situs web yang dihasilkan pada zaman tersebut hanya digunakan sebagai arsip informasi dari pemilik situs tersebut, sama halnya dengan melihat dan membuka dokumen pada situs Google Drive hari-hari ini.
Sedangkan, zaman “Web 2.0” (web generasi kedua) mulai diawali dengan munculnya teknik-teknik baru untuk menghasilkan konten web yang semakin dinamis dan interaktif. Misalnya, sebuah situs kini dapat menarik informasi tentang ramalan cuaca di sekitar lokasi para pengguna hanya dengan melihat alamat IP yang digunakan untuk mengakses situs tersebut. Hal ini telah membangkitkan sebuah generasi web terbaru di mana para pengguna tidak hanya dapat melihat informasi pada internet, tetapi juga dapat berinteraksi dan berpartisipasi secara langsung tanpa harus menyediakan server internet sendiri seperti situasi pada zaman sebelumnya. Dan itulah mengapa situs-situs Web 2.0 seperti Facebook memiliki ciri-ciri seperti berikut:
- Mengandalkan user-generated content (konten yang diunggah/dipublikasi oleh pengguna) secara penuh,
- Sering memiliki sistem akun (Sign Up, Log In) sendiri, dan
- Bersifat terpusat (seluruh kegiatan dilakukan pada situs dan layanan yang sama).
A. Web Semantik
Definisi “Web 3.0” kini setidaknya terbelah menjadi dua. Definisi pertama, “Web 3.0” adalah Web Semantik, di mana data dari situs-situs web dapat terbaca secara jelas oleh komputer, dan data-data tersebut dapat dikaitkan antara satu situs dengan situs lain. Web Semantik kini juga telah dimanfaatkan oleh banyak individu dan perusahaan untuk memproses dan mengolah informasi dari internet secara lebih efisien, termasuk mesin pencari seperti Google Search dan Bing yang mengakses jutaan situs web setiap harinya.
Salah satu tujuan dari Web Semantik ini adalah untuk menerapkan integritas data (data integrity) pada setiap informasi yang diberikan oleh para pengguna di dalam sebuah situs web dan bahkan sistem komputer. Misalnya, jika seseorang hendak mengajukan sebuah kartu kredit baru kepada sebuah bank di Indonesia, maka bank tersebut akan mencari informasi dari beberapa sumber dan pihak terpercaya, termasuk Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), untuk memastikan bahwa orang tersebut layak untuk mendapatkan kartu kredit sesuai dengan riwayat transaksi dan level kartu kredit yang diminta. Hal seperti inilah yang betul-betul diharapkan dari pemanfaatan Web Semantik tersebut.
Masalah Web Semantik bagi privasi dan perlindungan data
Pada versi esai sebelumnya, saya menyatakan bahwa Web Semantik dapat berujung seperti sistem kredit sosial di China, di mana ideologi dan politik manusia bersatu dengan algoritma komputer untuk menilai “kelayakan” seseorang sesuai hukum yang berlaku. Namun, jika hal tersebut disusupi oleh kelemahan algoritma dan agenda-agenda dari (partai) politik tertentu, hal seperti ini dapat membahayakan, dan bahkan menjajah, bangsa dan negara tersebut. Saya tentunya berharap sistem seperti ini tidak sepenuhnya diterapkan di Indonesia, karena resikonya sudah cukup jelas dan dapat bersifat fatal.
Namun, ada satu masalah lagi yang muncul dari gerakan Web Semantik, dan kali ini masalahnya menyangkut terhadap identitas seseorang, kemaanan siber, dan perlindungan data pribadi. Kembali lagi, Web Semantik menegakkan integritas data, dan saya sendiri juga mendukungnya. Namun, dengan demikian, penggunaan nama palsu atau pseudonym seperti “kucingorenmatidijalan” dan “reinhart1010” sudah sia-sia untuk memproteksi identitas diri seseorang, karena suatu saat identitas tersebut dapat terbongkar secara mudah hanya dari menelusuri beberapa situs web yang tergabung dalam Web Semantik.
Sebagai contoh, saya akan memulainya dengan situs saya, reinhart1010.id. Sesuai peraturan dari ICANN (badan pengelola nama domain dan alamat IP seluruh dunia), setiap pemilik domain wajib menyertakan identitas diri (nama, alamat surel/email, dan bahkan alamat fisik) kepada masing-masing badan pendaftar domain internet sesuai jenis domain yang dimilikinya. Dan karena itu beberapa informasi pribadi saya, termasuk alamat surel/email pribadi saya, juga disimpan di dalam sistem database PANDI (Pengelola Nama Internet Indonesia) untuk memastikan bahwa saya adalah pemegang sah atas domain situs saya, reinhart1010.id.
Dari alamat surel tersebut, seseorang dapat saja mencari lebih dalam tentang saya hanya dengan mencocokkan alamat surel kepada database banyak situs web yang sudah ada. Entah Facebook. Entah YouTube. Entah LinkedIn, Gojek, LINE, Tokopedia, BCA Mobile, GitHub, Telegram, Aduan Konten, dan bahkan aplikasi PeduliLindungi. Masing-masing situs dan aplikasi tersebut juga menyimpan data dan aktivitas saya secara lebih lengkap, termasuk nomor telepon saya, alamat fisik saya, kartu kredit saya, tanggal lahir saya, riwayat tes PCR saya, dan bahkan segala sesuatu tentang teman-teman dan keluarga saya. Karena itu, saya sendiri merasa nama pseudonym “reinhart1010” sudah sia-sia untuk menyembunyikan identitas saya, karena semua data tentang saya kini mudah sekali dibongkar di dalam era Web Semantik, meskipun beberapa data pribadi tetap dilindungi oleh kebijakan dan mekanisme perlindungan data tertentu.
B. web3: Web terdesentralisasi berbasis konsensus komputasi kriptografi
Selain Web Semantik, “Web 3.0” kini juga berbicara tentang segala sesuatu yang kini disebut sebagai web3. Bahkan, web3 juga berdiri di atas prinsip-prinsip yang dikemukakan dari Web Semantik. web3 berfokus pada tiga hal utama yang jauh bertentangan dan hampir bertolak belakang dari Web 2.0, yaitu:
- Mengandalkan user-generated content (konten yang diunggah/dipublikasi oleh pengguna) dalam bentuk riwayat transaksi yang terkomputerisasi dan terverifikasi melalui proses kriptografi,
- Menggunakan kunci enkripsi asimetrik (kunci publik dan kunci privat) daripada nama pengguna dan kata sandi sebagai pengenal “akun”,
- Bersifat terdesentralisasi dan kerap terfederalisasi, artinya setiap kegiatan pada web3 direkam hanya pada satu instansi (server) saja dan kemudian tersebar kepada server-server lain yang bersekutu dengannya.
Perbedaan antara user-generated content dalam Web 2.0 dan web3 adalah web3 lebih menekankan penyimpanan dan pengarsipan riwayat (transaksi) perubahan data yang terkandung di dalam user-generated content, sehingga sebuah user-generated content di dalam web3 tidak dapat “dihapus” seperti user-generated content dalam Web 2.0. web3 juga sama-sama menerapkan integritas data ala Web Semantik, namun lebih berfokus terhadap integritas antar-transaksi yang terkandung di dalam sebuah ledger besar.
Rencana balas dendam di balik web3
Namun, di balik semuanya itu, saya memandang web3 sebagai sebuah ancaman bagi Indonesia dan dunia, karena web3 adalah rencana balas dendam terhadap sentralisasi dan komersialisasi kekuasaan internet oleh korporasi dan pemerintah. Jika berhasil diterapkan, web3 akan membawa sebuah disrupsi besar tak hanya dalam dunia TIK, tetapi juga di dalam dunia sosial, politik, hukum, keamanan, kekayaan intelektual, dan bahkan ideologi.
Kini, banyak orang yang memandang bahwa web3 dan desentralisasi adalah pemborosan sumber daya komputer dan alam. Dan hal tersebut kerap dijadikan sebagai tameng bagi para oposisi web3, desentralisasi, dan liberalisasi internet. Menurut para oposisi, sistem mata uang kripto (khususnya berbasis blockchain) selalu melakukan pemborosan secara kolektif karena jutaan komputer yang menjalankan proses mining kini berlomba-lomba untuk menyelesaikan sebuah transaksi dengan baik dan benar. Jika mereka kalah, waktu, tenaga, dan daya listrik komputer yang digunakan untuk memverifikasinya tetap akan dibuang sia-sia. Dan semakin lama, tingkat komputasi yang diperlukan untuk memvalidasi transaksi mata uang kripto semakin sulit dan semakin membutuhkan waktu dan tenaga komputer yang lebih besar.
Dan mungkin Anda sendiri juga bertanya, mengapa sistem transaksi di dalam Bitcoin dan mata uang kripto harus serumit ini, apalagi jika sistem gerbang pembayaran terpusat seperti Visa, Mastercard, dan GPN terlihat jauh lebih efisien untuk menanganinya. Jika Anda belum pernah membaca makalah whitepaper yang menjelaskan Bitcoin secara umum, menurut saya kini adalah waktu terbaik untuk membacanya.
1. web3 vs 1000 Startup Digital
Di dalam mukadimah atau pembukaan pada whitepaper Bitcoin, Satoshi Nakamoto (penemu sistem Bitcoin) menyatakan bahwa Bitcoin merupakan sistem pembayaran yang bersifat peer-to-peer, yang tidak membutuhkan kepercayaan dan intervensi dari pihak ketiga apapun, seperti Bank BCA, GPN, Badan Pemeriksa Keuangan, dan sebagainya. Terlebih itu, setiap transaksi dilakukan di Bitcoin memang dirancang untuk bersifat final dan tidak dapat diganggu-gugat. Dan kini, mayoritas layanan web3 juga berfokus pada visi yang sama: membentuk ekosistem pasar bebas di mana setiap transaksi dapat dilakukan tanpa adanya negosiasi dan pengawasan dari pihak ketiga yang berperan sebagai man-in-the-middle, alias pihak penengah atau mediator.
Namun, di Indonesia sendiri, masih banyak startup digital yang ingin berperan sebagai man-in-the-middle tersebut. Dan memang, peran mereka sebagai man-in-the-middle inilah yang telah menjadi salah satu sumber pendapatan terbesar bagi mereka via potongan komisi dan jasa periklanan. Contoh termudah dari kasus ini dapat kita lihat secara langsung dari mereka yang sudah lulus menjadi startup unicorn dan bahkan decacorn:
- Gojek dan Grab ingin menjadi penengah antara mitra pengemudi dan pelaku usaha kuliner, dengan para pelanggan.
- Traveloka dan Tiket.com ingin menjadi penengah antara pelaku industri pariwisata dengan para penggunanya yang ingin berpegian dan berwisata.
- Blibli, Bukalapak, Lazada, Shopee, Tokopedia, dan Zalora ingin menjadi penengah antara pelaku usaha yang menjual produk dengan para calon pembelinya.
- OVO, DANA, LinkAja dan sebagainya ingin menjadi penengah antara penjual dan pembeli melalui layanan dompet digital (e-wallet).
Dan tak sedikit dari startup tersebut ingin mengembangkan konsep superapp di Indonesia dan mancanegara. Dan, tujuan dari para superapp tersebut adalah, kembali lagi, menjadi penengah bagi setiap gerak-gerik kehidupan masyarakat sehari-hari. Perusahaan-perusahaan seperti ini sudah menjadi role model alias teladan bagi ribuan startup digital lainnya. Dan tak heran, mayoritas startup-startup yang masuk ke dalam program 1000 Startup Digital Indonesia juga ingin menjadi penengah dari segala sesuatu.
Sebenarnya, sistem mata uang kripto seperti Bitcoin dan Ethereum juga sama-sama berperan sebagai penengah antar transaksi yang dilakukan oleh para penggunanya. Tetapi, yang berbeda di sini adalah siapa yang mengontrolnya. Mayoritas bisnis startup digital di Indonesia pastinya dikelola dan dikontrol oleh satu atau beberapa perusahaan, misalnya Gojek yanng dimiliki oleh PT. Aplikasi Karya Anak Bangsa. Tetapi, saya memerhatikan bahwa ada dua hal penting yang membahas tentang kepemilikan sebuah sistem di dalam web3:
- Siapapun bisa memiliki web3. Baik dengan membeli koin atau tokennya, atau dengan berkontribusi dalam memasang dan mengembangkan infrastruktur di balik sistemnya.
- Namun, siapapun tidak bisa mengontrol web3 secara keseluruhan. Jika seseorang ingin untuk melakukannya, dia harus bersikeras membangun sebuah konsensus antar pengguna web3 untuk melakukan hal yang sama.
Hal tersebut dapat diibaratkan jika perusahaan seperti Bank Mandiri, sesuai namanya, dikontrol 100% secara independen dan tanpa intervensi besar dari siapapun yang memilikinya, seperti pemerintah. Anda tentunya masih bisa membuat rekening baru, bertransaksi, dan bahkan bekerja dan menjadi direktur utama di dalam perusahaan tersebut. Namun, untuk mempertahankan posisi Anda sebagai direktur utama, Anda harus meyakinkan setiap pemegang saham perusahaan tersebut untuk tetap memilih Anda, dan proses seperti ini pasti memakan banyak waktu dan biaya, sama halnya dengan proses kampanye Pemilu di Indonesia.
Alhasil, jika web3 sudah menjadi norma baru di kalangan masyarakat Indonesia, dan jika web3 terbukti lebih ekonomis bagi mereka, mereka dapat saja mulai meninggalkan aplikasi dan layanan “penengah” tersebut untuk beralih kepada ekosistem pasar terbaru yang semakin independen. Ujung-ujungnya, balik lagi ke era pasar tradisional yang bebas: siapapun bisa jual produk, dan siapapun juga bisa bertransaksi tanpa komisi dari sang pemilik pasar. Namun siapapun, mau tidak mau, harus bertanggung jawab dan mengambil risiko sendiri saat berpergian dan bertransaksi. Dan alhasil, startup-startup tersebut akan gulung tikar karena tidak ada yang mau “berkunjung” kepada mereka kembali.
2. web3 vs konten negatif dan Hak Kekayaan Intelektual
Rancangan dari web3 sendiri juga kerap dipertanyakan terkait distribusi konten negatif. Dan hal yang sama juga berlaku untuk konten yang dilindungi oleh Hak Kekayaan Intelektual. Misalnya, seseorang dapat saja menaruh konten pornografi di dalam jaringan IPFS (InterPlanetary File System) untuk disebarluaskan kepada pengguna IPFS lain. Namun, karena prinsip desentralisasi integritas data antar riwayat transaksi yang sudah dipegang teguh oleh IPFS, konten tersebut secara praktis tidak dapat dihapus maupun diblokir. Dan, untuk memblokir konten tersebut secara massal pemerintah Indonesia harus entah:
- memblokir seluruh jaringan IPFS di seluruh Indonesia, atau
- membuat sebuah program “antivirus” yang wajib dipasang menurut hukum untuk menolak dan menghapus distribusi konten tersebut.
Kedua opsi ini tentunya bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi yang merupakan prinsip utama dari World Wide Web (WWW), dan kedua opsi ini tidak ada bedanya dengan mensensor dan memblokir konten yang memang sangat mudah dilakukan di era Web 2.0. Bahkan, beberapa organisasi seperti Mozilla, Wikimedia Foundation (organisasi di balik situs Wikipedia), serta The Internet Archive masih mengkampanyekan kesadaran tentang pentingnya keterbukaan informasi dalam internet bagi masyarakat global melalui berbagai cara.
Dan jika memang ide “antivirus” tersebut mulai diterapkan di berbagai negara, pembuat konten-konten seperti ini dapat saja mengubah sedikit isi dari konten tersebut untuk semakin sulit terdeteksi dengan program tersebut, sama halnya dengan situasi di dalam dunia keamanan siber saat ini.
3. web3 vs ideologi
Sebagain besar orang mungkin bertanya, “mengapa web3 harus terdesentralisasi bukan terpusat?”, “mengapa (saat ini) web3 itu semua serba blockchain?”, “mengapa konten negatif akan sulit dihapus di dalam jaringan web3?” Ini semua karena web3 berdiri di atas beberapa prinsip utama yang sebenarnya sudah terkandung di dalam ideologi liberalisme. Secara umum, web3 menegakkan beberapa prinsip utama sebagai berikut:
- Kebebasan terhadap setiap pengguna untuk memiliki dan berinteraksi di dalamnya,
- Meritokrasi berdasarkan integritas data terhadap riwayat aktivitas dan transaksi yang dilakukan oleh para pengguna,
- Pemecahan kekuasaan terhadan operasional infrastruktur, jaringan, dan layanan internet kepada tangan publik. (Liberalisasi)
- Transparasi bagi siapapun dan untuk kegiatan apapun. Meskipun mata uang kripto saat ini kerap digunakan untuk transakasi-transaksi anonim, integrasi antar sistem yang terjalin di dalam web3 akan membuat kegiatan sesama pengguna di web3 semakin transparan, baik “baik” maupun “jahat”.
Apakah semuanya harus di-web3-kan?
Menurut saya, web3 (dan juga Web Semantik) sendiri berpotensi sebagai solusi ampuh bagi berbagai permasalahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Misalnya, informasi-informasi seperti tingkat pemerataan ekonomi, rantai penyediaan (supply chain), dan perpajakan dapat dicari secara cepat dan mudah hanya dengan memetakan tempat-tempat usaha di Indonesia, kemudian menyimpannya di dalam sebuah ledger atau pustaka seperti IPFS yang dapat diakses, disimpan, dan dibagikan oleh siapapun. Informasi-informasi tersebut dapat berguna dalam pengambilan kebijakan dan keputusan oleh pemerintah Indonesia pada masa yang akan mendatang.
web3 juga menekankan pentingnya kolaborasi dan gotong royong dalam berpartisipasi di dalam internet. Bahkan, banyak orang kini bergotong-royong untuk membangun dan mengoperasikan sistem terdesentralisasi secara massal seperti Bitcoin, meskipun mereka tidak berasal dari bangsa Indonesia maupun menjadi salah satu warga negara Indonesia. Saya harap hal serupa juga dapat ditanamkan dalam gerakan literasi digital di Indonesia (misal: Siberkreasi dan Pandu Digital Indonesia) saat ini agar masyarakat mulai siap untuk menghadapi dan berkontribusi dalam era web3, tidak hanya Web 2.0 saja.
Tetapi, saya sendiri masih menentang pendapat bahwa semuanya, entah lokapasar daring (online marketplace), aplikasi media sosial, televisi dan video on-demand (VOD), harus sepenuhnya diimplementasikan dengan cara terdesentralisasi dan peer-to-peer layaknya Bitcoin, Ethereum, dan kawan-kawan. Malah, kini saya sendiri mengusulkan untuk menggunakan model otonomi daerah di negara kita sendiri sebagai model pemersatu jaringan Web 2.0 dan web3 di dunia.
Dalam jaringan “otonomi daerah” ini, beberapa komunitas dapat membentuk dan mengoperasikan layanan-layanan Web 2.0 secara mandiri, namun layanan-layanan tersebut masih dapat diakses secara global dan peer-to-peer melalui jaringan web3. Dengan demikian, keamanan dan ketertiban para pengguna masih tetap terjaga di dalam zona Web 2.0 dengan asas kekeluargaan oleh komunitas atau organisasi yang menaunginya, sedangkan merea sendiri masih dapat mengakses dan berinteraksi dengan web3 secara mudah. Hal seperti inilah yang saat ini juga diterapkan dalam membangun jaringan fediverse (jaringan media sosial terfederasi) yang memungkinkan pengguna sebuah situs media sosial (misal: Mastodon) dapat berinteraksi dengan pengguna dari situs media sosial lainnya (misal: Pixelfed), tanpa harus membuat akun baru di situs media sosial (Pixelfed) tersebut.
Apakah hal-hal ini bertentangan dengan Pancasila? Esai ini awalnya saya tulis untuk menjawab tugas saya dalam salah satu mata kuliah yang membahas tentang Pancasila. Meskipun beberapa prinsip di dalam web3 (seperti integritas data) sangat efektif bagi penegakan hukum di Indonesia, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh bangsa dan negara Indonesia untuk bersikap dalam menghadapi era web3:
- Jangan lupa “Ketuhanan yang Maha Esa”. Sama halnya dengan kasus kredit sosial di China, penegakan meritokrasi web3 di Indonesia harus kembali dilaksanakan berdasarkan Pancasila, dan terutama Ketuhanan yang Maha Esa. Jangan sampai Indonesia menyetujui untuk menegakkan kebudayaan-kebudayaan web3 yang menentang nilai-nilai agama tersebut. Meskipun web3 dirancang untuk netral terhadap para agama dan kepercayaan,
- Jangan lupa “Bebas Aktif”, politik luar negeri ala Indonesia. Kita sendiri mungkin sudah tak jarang dengan istilah tersebut. Dan kembali lagi, kita harus tetap menjaga perdamaian dunia, di dalam dunia internet baik Web 2.0 maupun web3. “Bebas Aktif” juga kembali menyadarkan kita untuk tetap memilah bagian-bagian dari Web 2.0 dan web3, karena belum tentu semuanya tetap sesuai dengan prinsip dan budaya masyarakat Indonesia yang beragam.
Situs ini (reinhart1010.id) juga mendukung sebagian standar dan fitur yang ada baik di dalam Web 2.0 maupun web3. Sebagian dari artikel-artikel pada situs reinhart1010.id juga dibagikan ulang ke dalam platform blog lain seperti Medium, Quora, dan kini Kompasiana, agar para pembaca dapat memberikan tanggapan terhadap artikel ini di dalam masing-masing situs dan aplikasi. Andapun juga dapat memberikan tanggapan dalam situs reinhart1010.id melalui Webmentions, dan dapat mem-follow situs ini di berbagai media sosial fediverse yang mendukung protokol ActivityPub (@[email protected]).
Daftar Pustaka
- Campbell, C. 2019, 17 Januari. “How China Is Using Social Credit Scores to Reward and Punish Its Citizens.” TIME, diakses dari https://time.com/collection/davos-2019/5502592/china-social-credit-score/ pada tanggal 19 Oktober 2021.
- Internet Archive. 2021, 1 Oktober. Internet Archive’s 25th Anniversary • Imagine the future of Internet. Diakses dari https://wayforward.archive.org/ia2046/ pada tanggal 19 Oktober 2021.
- Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. “Pertanyaan Umum.” Aduan Konten, diakses dari https://aduankonten.id/pertanyaan-umum pada tanggal 19 Oktober 2021.
- Meunier, T. dan In-Young J. 2021, 1 Oktober. “Web3 — A vision for a decentralized web.” The Cloudflare Blog, diakses dari https://blog.cloudflare.com/what-is-web3/ pada tanggal 19 Oktober 2021.
- Mirani, L. 2015, 9 Februari. “Millions of Facebook users have no idea they’re using the internet.” Quartz, diakses dari https://qz.com/333313/milliions-of-facebook-users-have-no-idea-theyre-using-the-internet/ pada tanggal 19 Oktober 2021.
- Nakamoto, S. 2008. Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System. Diakses dari https://bitcoin.org/bitcoin.pdf pada tanggal 19 Oktober 2021.
- Protocol Labs. “What is IPFS?” IPFS Docs, diakses dari https://docs.ipfs.io/concepts/what-is-ipfs/ pada tanggal 19 Oktober 2021.
- Steiner, J. 2018, 26 Oktober. “What The Heck Is Web 3.0 Anyway?” Forbes, diakses dari https://www.forbes.com/sites/juttasteiner/2018/10/26/what-the-heck-is-web-3-0-anyway/ pada tanggal 19 Oktober 2021.
- Wikimedia Foundation dan komunitas Wikipedia Bahasa Inggris. 2012. Wikipedia: SOPA Initiative. Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:SOPA_initiative pada tanggal 19 Oktober 2021.
Leave a Reply